“Kalau saja angin tak sekencang ini pasti aku udah jalan bareng sama
Vinni, sial!” gerutuku di depan jendela. Selalu saja begini. Ayah,
kakak, adik, abang, semuanya terlalu ikut campur dalam kehidupanku. Aku
hanya merasa kesal, seharusnya waktuku bisa kuhabiskan seperti
remaja-remaja yang lain tapi semua orang terlalu otoriter, ingin
mengatur lebih dalam, aku hanya tak suka.
“Mbak, kenapa? Kesal ya? Mau aku beliin kuaci?” pertanyaan polos dari Geni, Adikku yang berumur 10 tahun.
“Boleh, tapi kamu pergi pakai apa? Kan di luar angin kencang, Mbak aja gak boleh, apalagi kamu” ketusku.
“Oh iya, tapi aku coba minta temanin ke Kak Puput deh, moga aja dia mau”, jawabnya dengan riang.
“Gak usah, dia pasti sibuk dengan dunia musiknya”, ketusku lagi.
“Kalau Mas Erhan mau gak ya Mbak?” tanyanya takut-takut.
“Gak usah Gen, Mbak gak papa kok” jawabku lembut.
“Tapi Mbak..”
“Gak papa” potongku melihat Geni mulai putus asa.
Kami hanya membisu dalam kediaman dan bergerilya dengan fikiran masing-masing. Sampai akhirnya aku mencoba membuka pembicaraan.
“Mbak baru beli boneka spongebob bisa bicara, tapi baterainya gak ada, kamu cari gih” perintahku.
“Serius Mbak? Mana mana?” girangnya.
“Ambil dalam tas sekolah Mbak”. Dia pun dengan girang ke luar kamar dan
memeluk boneka spongebob yang kusebut punyaku padahal kubelikan
untuknya. Aku selalu mempertimbangkan gengsi saat ingin memberikan
sesuatu pada siapapun. Aku tau sifat buru ku itu tak mungkin dapat ku
pertahankan, tapi sampai sekarang pun aku belum menemukan penakarnya.
Rasa bosan mulai menggentayangiku. Disaat seperti ini Mas Erhan
sangat kubutuhkan. Aku pun berlari menuju kamarnya. “Maaas!!!” teriakku
sambil berlari membuka pintu kamarnya.
“Cerita apa lagi ni? Mohta? Bayu? Atau…” jawabnya yang sibuk dengan film
Indianya. Ya Mas Erhan memang anak band, tapi sebenarnya dia suka
banget nonton India, dua hobi yang sangat bertolak belakang, aku ragu,
jangan-jangan Mas Erhan ini punya kepribadian ganda..
“Bukan!!!” teriakku.
“Jadi?” jawabnya yang masih sibuk membereskan kaset Indianya.
“Aku kangen Ibu” suaraku merendah dan aku mencari jawaban dari responnya. Tepat! Dia juga kangen!
“Terus?” jawabnya sok-singkat.
“Aku pingin cerita sama Ibu, Mas” rintihku.
“Menurut kamu, apa untungnya bicara sama benda mati?!” tegasnya.
“Mas, terimalah, Ibu memang sudah tak ada, tapi dia selalu di dekat kita” jelasku dengan pelan.
“Kenapa gak cerita sama Mas aja sih?” nadanya mulai merendah.
“Aku Cuma minta diantar aja kok, soalnya gak boleh pergi sendiri sama
Ayah, ntar aku pulang bisa pakai kendaraan umum kok. Tapi, kalau mas gak
mau juga gak papa. Tapi, kenapa liatin aku sampe segitunya?” jawabku
panjang lebar dan mas Erhan Cuma ngeliatin aku aja.
“Udah siap ceramahnya? Mending ganti baju cepat sebelum Mas berubah fikiran” jawab Mas Erhan sambil menatapku sinis.
“Oke” berlari dan memberikan kecupan pertamaku di pagi Minggu.
Kebiasaanku di pagi Minggu adalah menjumpai Ibuku di tempat dimana
aku akan menyusulnya cepat atau lambat, kuburan. Ibu meninggalkan kami 2
tahun yang lalu tapi sampai detik ini pun Mas Erhan masih belum terima
kepergian Ibu. Di bulan pertama kepergian Ibu, Ayah memang sulit
mengontrol kami sehingga dia terlalu over protektif terhadap kami, aku
khususnya. Entah mengapa, dia jadi terlalu sering pulang kerja lebih
awal hanya untuk memastikan aku telah sampai di rumah tepat pada jamnya.
Tapi semenjak kepergian Ibu juga, Ayah sering menggunakan waktu liburan
untuk tetap berkutat dengan map-map yang harus dia selesaikan
secepatnya.
Di tahun pertama kepergian Ibu, Ayah sering menghabiskan pulsa hanya
untuk meyakinkanku telah makan siang. Aku hanya bosan mendapat telfon
dari Ayah setiap sehabis solat Zuhur, jadi kuputuskan hari itu untuk
tidak membawa ponsel, aku tak mengira kecemasan Ayah lebih dari yang
kubayangkan, dia sampai harus meninggalkan map-map yang selama ini
memberi kami makan hanya untuk mendatangi ke sekolahku dan meyakinkan
aku telah makan siang. Terlalu berlebihan memang bagi sebagian orang,
begitu pun bagiku di awal tapi sekarang aku mulai mengerti kenapa Ayah
terlalu over terhadapku. Satu-satunya alasan, dia hanya takut aku
mengidap penyakit yang sama dengan Ibu.
“Bu, ini tepat 2 tahun Ibu ninggalin kami, sekarang aku betulan
kangen Ibu! Aku Cuma kangen digosokin punggung sebelum tidur aja”
rintihku dalam hati saat di kuburan Ibu.
“Jangan lama-lama” ketus Mas Erhan.
“Ibu aku pulang dulu ya, ya Allah titip salam rindu untuk Ibuku” pintaku.
Pagi berganti pagi selalu saja ku lewati kegiatan monoton tanpa
hiburan. Pagi ini aku memilih menggunakan angkot ke sekolah dan
diizinkan Ayah dengan petuah yang tak henti sampai aku di depan pintu
rumah. “Nanti jangan lupa makan siang ya Mbak, ntar maag nya kambuh”,
tambah Ayah.
“Iya iya Ayah”, kecupku lalu berjalan meninggalkan rumah.
Pagi-pagi sekali aku telah sampai di sekolah. Tapi.. Di laciku ada sebuah surat! Setelah kubuka ternyata surat cinta
teruntuk Vinni. Vinni adalah teman sebangkuku yang jatuh cinta pada
kakak kelas kami Dharma tapi yang menyukainya justru adik Mas Dharma,
Tebby. Lucu memang, tapi semua tak bisa dipungkiri. Akhir-akhir ini
Tebby sering mengirimi Vinni surat.
“Ta, pinjam pena boleh?”
“Punyaku Cuma satu”
“Oh ya udah, makasih”
“Tapi pakai aja, aku beli lagi aja nanti”
“Yakin?”
“Iya”
“Makasih”
Dooooooor HAHAHAHA baik amat!!! Demi planet neptunus dan tatanannya aku jatuh cinta pada seorang pria bawahan Dewi Fortuna bernama Komiko Mohta.
Semenjak hari itu, aku dan Komiko mulai dekat. Hanya sebagai teman, tapi
dekat. Ah begitulah. Satu kelompok nari. Ya Cuma itu, tapi itu lebih.
Mungkin.
Hari ini sedikit mendung, tapi kupaksakan datang ke sanggar untuk
menyelesaikan pelajaran nari ini secepatnya. Ya aku tak suka. Sungguh
tidak. Terlalu sulit untukku melentikkan jari, apalagi tubuhku, sangat
sulit. Tak seperti biasanya, aku memilih pergi menaiki kendaraan sendiri
hari ini, tanpa Ayah dan tanpa Mas Erhan. Sampai di tengah perjalanan,
ada sebuah kendaraan lain yang ingin memotong dan mengambil jalanku, aku
bingung harus bertindak apa, akhirnya..
“Plak” benturan itu terdengar jelas olehku. Aku hanya merasakan sesuatu
mengucur dari keningku dan terlalu ramai mengerumuniku sampai aku tak
sadarkan diri.
Saat itu aku sangat membutuhkan bantuan darah bergolongan AB+. Dari
keluargaku, hanya Ibu yang punya golongan darah persis sepertiku.
Perjuangan Ayahku sangat hebat. Selama aku di rumah sakit, tak sedetik
pun dia meninggalkanku sampai akhirnya aku dibawa pulang.
Beberapa minggu kemudian..
“Udah sembuh?” sapa Komiko dengan coklat di tangannya.
“Lumayan”
“Nih buat kamu” memberikan coklat.
Aku hanya menatapnya sinis.
“Gak pake kacang, rasa vanilla, buat perbaiki mood” jelasnya.
Aku hanya memberikan senyum simpul untuknya.
Semenjak kecelakaan itu, aku terserang flu
sampai satu bulan, aku hanya merasakan sakit biasa. Tapi Ayah tetap
memaksakanku untuk memeriksakan ke dokter. Aku tak mungkin menolak
permintaan Ayahku. Karena aku tau, semua yang dia lakukan untuk
kebaikanku.
Hari itu, menjadi hari terburuk dalam kehidupanku. Bagaimana bisa aku terserang HIV.
Segala kemungkinan berkecamuk dalam fikiranku. Sekarang ketakutan
Ayahku benar-benar terjadi. Dia kan kehilanganku lebih cepat dari
dugaannya. Aku bukan pergi karena penyakit Ibu, kanker, tapi HIV. Apa
yang bisa aku lakukan selain menangis? Tapi aku tak ingin Ayah melihat
tangisanku.
“Semua kita bakal ke tempat yang sama kok yah” memulai pembicaraan.
“Tapi gak mungkin, semua salah Ayah. Coba aja Ayah lebih teliti memilihkan pendonor untukmu” isaknya mulai kencang.
“Yah sudahlah, aku juga rindu dengan Ibu” sambil memeluk Ayah.
“Jadi kau suka meninggalkan Ayah?”
“Bukan begitu, Ibu sendiri disana, disini ada Mas Erhan sama Geni kok, Yah” jelasku.
“Emang Mbak mau pergi kemana?” Tanya Geni dengan boneka di pelukannya.
“Cuma mau ketemu Ibu aja” senyumku.
“Loh kok gak ajak Geni?” dengan polosnya.
“Geni disini aja temanin Ayah”
“Oh jadi Mbak mau kita bagi tugas gitu?”
“Iya, jaga Ayah baik-baik, jangan buat dia nangis”
Tiba-tiba Mas Erhan langsung memelukku dan menangis sejadi-jadinya.
Semakin hari, Komiko semakin giat mendekatiku, tapi aku berusaha
menjauh karena aku sadar keterbatasanku. Vinni mulai menyadarinya.
Setiap pulang sekolah, Komiko menjengkku di rumah sakit dengan coklat di
tangan kanannya. Vinni setiap hari hanya bisa menangis melihatku. Aku
sedih meninggalkan orang-orang di sekitarku, tapi aku lebih sedih di
rumah sakit ini. Setiap hari ketahanan tubuhku semakin menurun. Ayah pun
menghabiskan uang banyak untukku.
“Vin, aku pengen pergi lebih cepat”
“Kenapa?”
“Aku lebih sakit disini, melihat orang-orang meratapiku”
“Beri surat ini pada Komiko saat aku udah pergi ke tempat Ibu, aku mohon”
Vinni lalu memelukku dengan erat dan tak terdengar tangis, hanya isakan.
Malam itu Tuhan betul-betul bersamaku. “Ayah, jangan sedih-sedih lagi yaa”
“Mas Erhan, kuliah yang rajin, jagain Geni”
“Gen Mbak pergi dulu yaa”
Keesokan sore, Komiko mencariku di rumah sakit tapi tidak ada. Lalu dia ke rumah dan bertemu Ayah.
“Bagaimana mungkin Om?”
“Dia tertular melalui jarum suntik Nak”
Komiko pun berlari menghampiri peristirahan terakhirku dan bertemu Vinni, lalu dia memberikan selebar kertas sederhana.
Aku pernah dengar di sebuah film menyebutkan: Setiap manusia punya
cita-cita, ada yang mengejarnya lalu mendapatkan, ada yang mengerjarnya
tapi hilang begitu saja, ada juga yang hanya menguburnya sepanjang
hidupnya. Sampai bertemu di ruang yang sama Komiko.
Cerpen Karangan: Arviani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar